Hukum Islam Membolehkan Orang Murtad Dihukum Mati ?
HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia.
Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka. Di negeri negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah agama atau murtad.
Menurut hukum Islam yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,” tandasnya. Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena.
Dalam konteks ini, saya teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah)dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi hukuman mati.
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah ditetapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif,termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak berarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan tentang murtad tersebut tidaklah bersumber pada Al Qur’an, tetapi dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits tersebut dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi kesalahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa me nyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada firman Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri).
Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarî’ah). Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia.
Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak asasi manusia seperti hakhak kaum minoritas, penghormatan terhadap nonMuslim, hingga kasuskasus yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, misalnya, tanpa ragu membela Ulil AbsharAbdala, intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhantuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang dianggap melanggar batasbatas kesusilaan umum. Seperti biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mereka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”, Inul Daratista.
Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, sehingga hampir-hampir saja Inul putus asa dan menyerah. Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai penyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya.
Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan arus demi membela hak asasi Inul. Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilainilai hak asasi manusia.
Dikutip dari :
Islamku Islam anda Islam kita
agama masyarakat negara demokrasi
Abdurrahman Wahid
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia.
Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka. Di negeri negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah agama atau murtad.
Menurut hukum Islam yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,” tandasnya. Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena.
Dalam konteks ini, saya teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah)dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi hukuman mati.
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah ditetapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif,termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak berarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan tentang murtad tersebut tidaklah bersumber pada Al Qur’an, tetapi dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits tersebut dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi kesalahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa me nyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada firman Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri).
Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarî’ah). Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata mEmbInGkaI PotREt PEmIkIRan PolItIk kH abduRRaHman WaHId bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia.
Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak asasi manusia seperti hakhak kaum minoritas, penghormatan terhadap nonMuslim, hingga kasuskasus yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, misalnya, tanpa ragu membela Ulil AbsharAbdala, intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhantuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang dianggap melanggar batasbatas kesusilaan umum. Seperti biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mereka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”, Inul Daratista.
Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, sehingga hampir-hampir saja Inul putus asa dan menyerah. Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai penyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya.
Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan arus demi membela hak asasi Inul. Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilainilai hak asasi manusia.
Dikutip dari :
Islamku Islam anda Islam kita
agama masyarakat negara demokrasi
Abdurrahman Wahid
Tidak ada komentar: