Membongkar Fakta Kebusukan Kapitalis Rokok
Dengan segala liku-liku, akhirnya buku terbit di awal 2012. Karena modal cekak, buku tidak masuk ke jaringan toko dan hanya beredar khusus buat yang berminat. Sengaja saya tidak terima funding asing untuk cetak ulang. Agar tak ada tuduhan bahwa ini buku hasil kepentingan asing. Buku ini semata didorong keberpihakan pada kepentingan publik. Sama sekali tak ada urusan dengan kepentingan asing. Buku ini saya buka dengan bab 1 yang berjudul "SAYA TIDAK ANTI ROKOK". Itu sikap saya. Yang saya soroti terutama arsip "TOP SECRET Tobacco Document" di perpustakaan University California San Fransisco.
Di situ terungkap aksi agresif yang membuat anak-anak jadi perokok usia dini, yang di Indonesia meningkat 500% pada tahun 90-an. Tumpukan dok rahasia ini adalah milik 7 raksasa industri rokok yang diperintahkan pengadilan AS menyetor seluruh arsip. Kenapa? Karena banyak gugatan konsumen menemui jalan buntu lantaran industri tidak mau membeberkan data. 3000an dari 40 ribu berkas dokumen di perpustakaan UCSF itu mengenai sepak terjang Philip Morris, BAT, di Indonesia. Tentang praktik mempengaruhi regulasi, melobi parlemen, membayar ilmuwan & wartawan, demi menguasai pasar rokok di sini.
Dalam salah satu dokumen, terungkap juga mereka menyewa detektif untuk memata-matai beberapa aktivis proregulasi rokok. Saya ingin klarifikasi: Buku saya tidak menganjurkan industri rokok ditutup, tidak melarang petani tanam tembakau. Karena pasar perokok di negeri ini besar: 60-80 juta perokok, mereka tak mungkin berhenti merokok hanya karena ada regulasi. Pasar perokok yang besar itu tentu butuh industri & petani tembakau. Tapi, harus ada etika tidak menyasar anak muda. 3000an file TOP SECRET yang saya teliti mengungkapkan strategi industri rokok menggarap pasar Indonesia yang ranum. Pasar yang aduhai: banyak anak muda, edukasi rendah, pemerintahnya tak peduli public health, parlemen gampang dibayar.
Dok Juli, 1992, menunjukkan BAT di London & Jakarta menggagalkan pasal RUU Kesehatan 1992, yang menyebut rokok adiktif. Operasi berhasil hanya dalam 4 bulan. September 1992, UU Kesehatan disahkan tanpa menyebut rokok sebagai produk adiktif. Resonansi kejadian itu muncul dalam skandal penghilangan ayat yang menyebut rokok sebagai adiktif dalam UU Kesehatan 2003. Skandal terbukti. Ribka Tjiptaning, yang memerintah staf DPR mencabut ayat tersebut, hanya dikenai sanksi administratif.
Giant Pack of Lies mengundang pro-kontra. Reaksi paling menyakitkan adalah bahwa upaya mendorong regulasi rokok ini didalangi asing. Kubu kontra regulasi rokok berargumen bahwa regulasi rokok berarti membunuh petani tembakau. Dramaqueen. Lebay. Regulasi rokok tidak akan membunuh industri & petani tembakau. Bagaimana bisa mati wong ada 80 juta perokok di negeri ini?
Faktanya, justru industri yang ogah mau beli tembakau petani. Justru impor tembakau dari Cina & Brazil terus meningkat. Praktik ijon, tengkulak, blandong, membuat harga jatuh saat panen. Akibatnya, petani terbelit utang. Di Lombok, bahkan ada petani yang bunuh diri masuk oven pengering daun tembakau gara-gara tak bisa bayar utang.
Jadi, sebenarnya yang menyusahkan petani tembakau justru ulah industri & tata niaga tembakau. Bukan regulasi rokok. Regulasi rokok hanya sedikiiittt upaya mengerem agresivitas industri menyasar anak muda sebagai target pasar. Supaya baliho, iklan rokok, tidak mengepung kita dari segala penjuru. Anak-anak pun tak boleh membeli rokok secara bebas. Regulasi juga bertujuan melindungi perokok pasif terpapar asap rokok secara membabi-buta. Hanya itu saja, kok. Mengerem laju anak terjerat rokok terlalu dini. Kalau sudah dewasa, sih, terserah mana suka. Tapi industri kalang kabut.
Segala daya digelar, menghilangkan ayat UU, disinformasi bahwa petani tak boleh tanam tembakau. Semua jurus digelar. Dibuatlah kesan bhw kalau regulasi diterapkan, pabrik rokok mati besok pagi. Lebay. Yang juga selalu dibawa adalah: kenapa cuma ribut soal rokok? Bagaimana dengan asap knalpot, kolesterol, yang juga bahaya? Kenapa nggak dilarang sekalian warung padang? Bukankah kolesterol dalam tunjang, yang sedap, itu juga bahaya? Tentu kolesterol, timbal, dll juga bahaya. Tak sedikit upaya membangun kesadaran terhadap hal itu. Lalu bayangkan anak balita, yang bapaknya merokok di rumah. Betapa si anak terpapar asap rokok tanpa punya pilihan. Apa yang bisa dilakukan balita, janin dalam kandungan, yang terpapar asap rokok? Mau lari? Kos di rumah tetangga?
Saya yakin kesadaran kesehatan terus meningkat, dengan sendirinya konsumsi rokok berkurang dan perokok lebih santun. Kesadaran kesehatan itu sebuah keniscayaan. Industri rokok tak akan mampu membendungnya. Ini cuma soal waktu.
Jika tertarik, sila donlot versi pdf DISINI
Tidak ada komentar: